Thursday, January 29, 2009

A Brand New Banner

Setelah beberapa lama memperhatikan header pada blog pribadi saya ini, saya tersadarkan akan kejanggalan yang ada dalam banner tersebut. Judul blog yang ditulis kecil-kecil dengan huruf yang sama sekali tidak memperjelas rangkaiannya, foto bagian kepala yang saya crop dan saya ganti dengan goresan tinta transparan merah darah, dan kalkulator yang besarnya seperti remote menyinari sisa tubuh saya yang lain; semua itu sangat absurd. Seperti kecenderungan narsisme yang tertahan oleh kesadaran diri akan wajah yang pas-pasan. Hahaha. Entah saya harus meralat atau mengakui keadaan ini.

Hal itu membersitkan sebuah ide untuk merombak nya dengan ilustrasi yang lebih representatif atau setidak-tidaknya memiliki makna yang jelas dibanding goresan-goresan digital asal di software CorelDRAW.
Dengan berbekal satu pak crayon Pentel dan pensil warna Faber-Castell, juga sebuah scanner di warnet terdekat yang memaksa saya membayar 2500/halaman scan, jadilah sebuah banner baru seperti yang kalian lihat di bagian atas blogpage "The Nameless Moment" ini.

Sebuah ilustrasi analogis atas hal yang tengah meracuni pikiran banyak masyarakat secara perlahan namun membinasakan, yaitu penyangkalan sekaligus penistaan terhadap Tuhan.

Saya tidak tahu apa yang saya pikirkan ketika membuatnya; Palestina, Israel, susahnya berurusan dengan polisi, mendambakan sebotol Kratingdaeng dingin, kaki kesemutan, semuanya mungkin dijadikan sebagai inspirasi. Tapi toh apapun itu, saya tidak begitu menaruh peduli. Biarlah skenario ciptaan Tata Dunia Baru ini berjalan sebagaimana mestinya hingga semua pemainnya merasa bosan ketika sudah berada di puncak. Seperti pernikahan yang berakhir dengan perceraian, kelahiran dan kematian, prolog dan epilog, juga makanan dan piring kotor.
Ah, saya jadi ngelantur ke mana-mana karena ulah si piramida biru itu. Si Piramida Biru, ngomong-ngomong, terdengar seperti slogan sebuah kompor yang berbintang iklan Ikke Nurjanah.

Monday, January 26, 2009

Movie Review : 3rd week of January


The Elephant Man







Sabtu kemarin, saya menemukan sebuah film era ’80-an yang kembali dirilis dalam format DVD di sebuah toko di bilangan jalan Kiaracondong. Ini adalah sebuah kesempatan yang berharga menurut saya, karena sebenarnya saya sudah lama berharap bisa menyaksikan film yang dirilis jauh sebelum saya lahir ini yakni tahun 1980. Tanpa banyak pertimbangan, saya membeli DVD tersebut seharga Rp 5500 saja. Haha, saya bukan orang yang mendukung pembajakan tapi selama pemerintah masih belum mampu menurunkan pajak untuk komoditas seperti ini, saya rasa tidak ada salahnya.

Film ini berjudul The Elephant Man dengan tagline based on a true story di bawahnya. Disutradai oleh David Lynch dan konon disebut-sebut sebagai salah satu masterpiece-nya sepanjang masa. Saya rasa itu tidak berlebihan, karena pada jamannya isu humanisme yang diangkat dalam film ini masih belum begitu menyita banyak perhatian masyarakat. Hal itu dapat dimaklumi bila melihat kondisi masyarakat dunia yang masih lekat akan unsur primordialistik dan sistem stratifikasi sosial a la top-down, poor-noble. Tidak seperti sekarang, di era liberalisasi dunia komunikasi, di mana semua orang berkoar-koar tentang penyetaraan gender, penghapusan isu diskriminasi, dan penyesaian krisis kemanusiaan yang semakin menjadi-jadi.

The Elephant Man bercerita tentang seorang lelaki berkebangsaan Inggris bernama John Merrick (John Hurt) yang dipertunjukkan dalam sebuah freakshow di bawah kendali Mr.Bytes (Freddie Jones). John menderita sebuah penyakit degenerasi sel yang bernama Proteus Syndrome. Hal itulah yang menyebabkan mukanya terlihat begitu buruk seperti seekor gajah –bahkan jauh lebih menyeramkan- dan sekujur punggungnya ditumbuhi oleh tumor ganas. Konon kondisi tersebut diakibatkan semasa kehamilan bulan keempat, sang ibu sempat menjadi korban keganasan gajah saat tengah berkunjung ke daratan Afrika. Kehadirannya di area sirkus itu menjadi bulan-bulanan massa. Rasa jijik, cacian, dan makian tanpa henti terlempar dari mulut para pengunjung. Namun Mr.Bytes tak pernah peduli, karena baginya John Merrick a.k.a The Elephant Man adalah sumber penghasilannya.

Penampilan John yang ‘eksentrik’ itu kemudian menggugah Dr. Frederick Treves (Anthony Hopkins), seorang ahli bedah muda dari London Hospital, untuk membawanya dan memberinya perawatan. Di rumah sakit, Treves menempatkan John di sebuah ruangan di loteng. Tindakan ini pada awalnya banyak mengundang reaksi negatif dari pihak rumah sakit : tentangan dari sang pemilik, rasa jijik sang suster, hingga oknum pelayan yang memanfaatkan John untuk mencari uang. Namun perlahan sisi lain dari John mulai terungkap. Dia yang semula pendiam, penakut sekaligus menakutkan, berubah menjadi sosok yang lebih terbuka setelah dilatih oleh Dr.Treves. Lambat laun, warga London mulai menerimanya sebagai seorang manusia normal yang patut dikasihani dan tentu perlu dihormati sebagaimana kebanyakan orang lainnya. The Elephant Man kini menjelma menjadi cult-idol banyak wanita diLondon. Apalagi setelah kedekatannya dengan seorang selebritis teater, Mrs. Kendal.

Setelahnya, banyak kejadian mewarnai hidup John. Salah satu adegan yang menurut saya sangat dramatis, adalah saat dia terjebak di tengah orang-orang yang hendak menangkapnya di toilet stasiun kereta. Saat itu dia sedang melarikan diri dari genggaman Mr.Bytes yang menculiknya dari rumah sakit dan memboyongnya ke Prancis. Dengan suara yang amat memilukan, dia berkata “I am not an animal!! I !! I am a human being. I . . am . . a man . . .”. Dia pingsan dan semua orang kemudian terdiam hingga akhirnya datang dua orang kawanan polisi yang membawanya kembali ke pangkuan Dr.Treves.

Lalu, apa sebenarnya yang perlu dipelajari dari film ini ?. Mungkin kalian masih ingat tentang Manusia Akar yang sempat dipertontonkan di acara sebutlah-paranormal-show di beberapa kota di Indonesia. Ternyata, akar yang menjalar di sepanjang tubuhnya tidak lain adalah akibat dari penyakit kutil akut yang diderita oleh manusia akar itu, Dede. Entah tidak tahu atau tahu tapi pura-pura tidak tahu, oknum dunia hiburan itu dengan entengnya memberi julukan manusia akar hasil semedi bla bla di gua whoa whoa. Untunglah ada surat kabar yang memuat berita tentang Dede sehingga akhirnya dia mendapat bantuan dari pemerintah setempat untuk menjalani operasi. Itu baru salah satunya, bagaimana dengan ‘manusia-manusia’ lain yang ada dalam roadshow tersebut.

Film The Elephant Man seharusnya menggugah manusia untuk kembali pada sisi manusiawinya, namun tampaknya setelah 30 tahun lamanya, watak manusia belum berubah atau bahkan tidak akan pernah berubah. Beruntunglah dunia masih memiliki mereka-mereka yang waras dan berhati ‘wajar’, sehingga ketika benih-benih baru seperti John dan XXX yang kurang beruntung lahir ke dunia, mereka masih memiliki kesempatan untuk hidup normal.


The Curious Case of Benjamin Button




Lagi-lagi DVD. Film ini saya beli berbarengan dengan The Elephant Man. Saya tidak akan panjang lebar membahas tentang film ini karena saya tidak mau disebut sebagai spoilerman. Tapi yang jelas saya heran mengapa film ini bisa meraih banyak nominasi Golden Globe Awards. Seperti keheranan saya terhadap film Laskar Pelangi yang standar dan tidak jelas arahnya namun menuai banyak pujian itu. Benjamin Button seperti Forrest Gump versi pendek namun membosankan. Jalan ceritanya sangat lambat, ditambah lagi dengan nuansa naratif yang sama sekali tidak menarik. Saya tertidur setelah menonton kurang lebih tigaperempat bagian film saking jenuhnya. Ah pokoknya membosankan.


Added Links :

http://en.wikipedia.org/wiki/Joseph_Merrick untuk info seputar John (Joseph Merrick)



Saturday, January 24, 2009

Obama is The New Osama

Saya mungkin bukan satu-satunya orang Indonesia yang dengan bangganya mendukung Obama dalam usahanya meraih kursi presiden di negara adidaya penganiaya, Amerika Serikat. Saat saya mengatakan “aniaya”, tentu saja itu dimaksudkan bagi orang-orang yang menduduki kursi pemerintahannya. Yahh, tidak semua “orang Amerika” seperti itu – mungkin - , toh sebutan itu hanya masalah kewarganegaraan saja.

Euforia masyarakat Indonesia terhadap dirinya sudah terlihat sejak awal tahun 2008. Buku-buku seputar Obama mulai bermunculan di pasar, dengan judul-judul yang sangat kental akan nuansa ameliorasi. Katakanlah Obama itu penyelamat, pembawa perubahan, sinyo hitam dari Indonesia, pahlawan kaum Demokrat, dan lain lain sebagainya. Saya agak sangsi sejak awal dengan buku-buku ini. Heran dengan kemunculannya yang terkesan sangat oportunis tapi di sisi lain terlihat begitu terencana. Mayoritas dari para penulis buku tersebut menaruh harapan besar padanya dan tidak lupa mencantumkan Indonesia yang “katanya” berpengaruh besar terhadap sikap politik Obama.

Ah bullshit. Saya harap buku-buku tersebut tidak terpampang di rak buku kalian.

Barack HUSEIN Obama.

Ketika Amerika sedang gencar-gencarnya membombardir kawasan Timur Tengah tanpa alasan yang jelas, muncul seorang figur di dunia politik dengan nama tengah HUSEIN yang DICALONKAN sebagai seorang presiden oleh partai Demokrat. Benarkah para lakon sandiwara politik di sana sebodoh itu ?. Saya, yang tidak begitu banyak mengerti ihwal ilmu sosial dan politik, masih cukup waras untuk menilai tindakan itu sebagai suatu kebodohan besar. ‘Timur Tengah’ adalah suatu frase yang sensitif di telinga warga Amerika dan itulah sebab utama McCain menyebut Obama dengan sebutan “this little Husein” sebagai upaya mengingatkan mereka atas tragedi 9/11. Pasti ada sesuatu yang disiapkan di balik ini. Mungkin. Saat itu saya masih belum tahu.

Si sinyo hitam ini, kemudian diberi predikat atau lebih tepatnya brand image pembawa perubahan oleh para simpatisannya. Berbagai pujian dilancarkan pada tiap gerak-geriknya : cara dia berdebat, program-program yang dia buat, dan pidato yang selalu bisa membuat pendengarnya menangis. Semua itu entah bagaimana menjalar hingga ke bumi pertiwi, Indonesia, dengan segala degradasi informasi di setiap jengkalnya. Segala kritikan tentang Obama mengendap di lautan, sedangkan semua sanjungan tentang dia mengembang dan meledak seperti balon yang kepanasan.

Kondisi seperti ini lantas menguntungkan pihaknya yang kemudian mengantarkan dia sebagai orang nomer satu di Amerika. 20 Januari kemarin dia resmi dilantik sebagai President of the United States of America.

Memang seperti balon. Kita terus meniupnya hingga besar agar ia bisa mengembang dan terbang di udara, tapi kemudian meledak di saat kita memberi terlalu banyak udara. Ledakan itu lantas menghasilkan suara bising yang tidak kita harapkan. Kebahagiaan dan keceriaan itu lalu hilang begitu saja.

Obama tempat banyak orang menaruh harapan, dengan mudahnya mematahkan hati banyak orang di dunia, baru beberapa hari setelah ia dilantik.

“Komitmen Amerika adalah melindungi Israel. Dari berbagai ancaman, termasuk salah satunya serangan roket dari Hamas ke Israel yang menewaskan banyak penduduk sipil yang tidak bersalah.”

Haha. Dia pasti sudah gila.

Di kesempatan lain, saat Obama berkunjung ke Tel Aviv,Israel, dia berkata : “Seandainya rumah saya dibombardir oleh roket, saya pasti melakukan hal yang sama (terhadap Palestina).”

Haha, lagi-lagi saya tertawa. Dia dengan mudahnya berbicara tentang masalah balas dendam dan menahbiskan apa yang disebut dengan hukum internasional, arbitrasi, mediasi, toleransi, dan apalah itu segala tetek bengek yang mengatur tentang perdamaian dunia.

Sebenarnya ini bukan merupakan kejutan, karena sejak terjadinya agresi militer Israel ke Gaza, Palestina, Obama tidak pernah mengatakan sedikit pun hal tentang peristiwa ini. Bahkan di pidato kenegaraannya pun tidak. Tidak heran bila McCain menyalami dia dengan tersenyum saat McCain dinyatakan kalah dalam Pemilihan Umum. Toh, siapapun presidennya, Amerika akan tetap berada pada jalur yang sama : membantai kawasan Timur Tengah.

Oh, seharusnya sejak awal saya dan banyak orang sadar bahwa Obama adalah boneka yang telah dipersiapkan oleh kaum Zionis untuk mewujudkan misi mereka, yaitu menghasilkan tata dunia baru yang berada di bawah kendali umat Yahudi.

There’s no white America, no black America, there’s just us : The United States of America.

Well, yes you are, Obama. Whoever the president is, America wouldn’t be less or more than how it was.

Pintu Terlarang


Saya membaca novel karya Sekar Ayu Asmara ini sekitar tahun 2004. Atau 2005 ya. Mungkin di saat saya masih SMP. Hasil pinjaman dari seorang teman yang kemudian mengendap di kamar tidur saya dan baru saya kembalikan sekitar satu tahun setelah saya pinjam. Kalau itu saya ingat benar. Haha.

Di tengah animo anak SMP-SMA terhadap Harry Potter, Lord of the Rings, juga teenlit, novel ini muncul membawa tema yang masih jarang diungkap dalam sebuah karya sastra, khususnya di Indonesia, yaitu schizophrenia.

Sekarang muncul versi layar lebar dari novel ini dengan judul yang sama. Kabarnya film ini adalah sebuah karya yang wajib ditonton di tahun 2009. Penasaran, saya lalu mengajak Ratna untuk menyaksikan film ini tepat di hari pertama pemutarannya.

Film karya Joko Anwar ini jauh melebihi kapasitas film Indonesia pada umumnya yang banyak bermain di area horror, komedi seks yang tidak lucu -bahkan juga tidak seksi-, serta percintaan ala Timur Tengah. Namun bila dibandingkan dengan novelnya, film ini masih jauh dari harapan. Apa yang dikatakan Joko Anwar bahwa film adaptasi harus memiliki added value ternyata sama sekali nihil. Saya tidak melihat nilai tambah dari film ini dibanding novelnya. Keberadaan gimmick komunitas rahasia Herosase bahkan tidak mampu mengangkat pandangan saya akan film ini. Akhir ceritanya pun tidak jelas. Dan itu diperburuk dengan dialog antara Pusparanti dan penjaga RSJ pada bagian akhir yang terlihat sangat dipaksakan, yang mungkin dianggap Joko Anwar sebagai suatu langkah untuk menyiasati ending yang tidak jelas tersebut.

Saya kira Joko Anwar tidak perlu berbangga hati perihal tindakan dia menulis script setelah mendiamkan novel ini tiga minggu sejak tamat membacanya. Toh seharusnya, film adaptasi setidak-tidaknya menjadi jawaban rasa penasaran pembaca terhadap bentuk visual dari apa yang terjadi dalam novel tersebut. Bukan sebaliknya, di mana bentuk egoisme yang dikemas dalam istilah “added value” itu menjadi sesuatu yang akhirnya malah membingungkan penonton.


Pintu Terlarang

Storyline : 6/10

Cast : 6/10

Ending : 4/10

Overall : 5/10

Keunggulan : Sinematografi, Music Scoring

Things Change in 18 Years


Things Change in 18 Years

Begitu banyak hal yang berubah dalam jangka waktu 18 tahun, dari sisi uang limaratusan.

SD

Saya masih terheran-terheran mengingat selembar uang limaratus rupiah yang bisa saya belikan banyak jajanan semasa sekolah dasar dulu. Mereka yang tidak pernah melewati periode es teh dan mie kering dengan bungkus bercorak garis berkelok merah putih tidak akan begitu mengerti berartinya nilai uang itu di saat itu.

SMP

Pulang sekolah. Cukup dengan membayar limaratus rupiah saja, saya bisa menumpang angkot dari Jalan Sumatera hingga Jalan Naripan. Dan hari ini, dengan jalur dan panjang lintasan yang sama, saya harus bersikap waspada setiap kali memberi koin limaratusan karena bisa saja muka saya menjadi sasaran tembak koin si supir.

SMA

Kemunculan Chocolatos dan Rolls cukup membuat saya bungkam akan nilai uang yang semakin tak berharga. Terimakasih Gary dan Richeese.

Kuliah

Saya tidak tahu siapa yang seharusnya merasa malu. Apakah saya, karena dengan teganya memberikan uang seratusan sehingga kadang mereka menggerutu bahkan menolak. Atau mereka, karena menolak apa yang seharusnya mereka syukuri berapapun itu ?. Saya tidak mau mengambil risiko sehingga sekarang koin-koin limaratusan saya sisihkan untuk pengamen dan kawan-kawannya di jalanan.

Begitu banyak hal yang berubah dalam jangka waktu 18 tahun, walau hanya dari sisi uang limaratusan. Cerita tentang perubahan di atas kemudian menyindir saya secara personal, akan kebuntuan hidup saya yang terus terjebak di titik yang itu-itu saja.