Monday, January 26, 2009

Movie Review : 3rd week of January


The Elephant Man







Sabtu kemarin, saya menemukan sebuah film era ’80-an yang kembali dirilis dalam format DVD di sebuah toko di bilangan jalan Kiaracondong. Ini adalah sebuah kesempatan yang berharga menurut saya, karena sebenarnya saya sudah lama berharap bisa menyaksikan film yang dirilis jauh sebelum saya lahir ini yakni tahun 1980. Tanpa banyak pertimbangan, saya membeli DVD tersebut seharga Rp 5500 saja. Haha, saya bukan orang yang mendukung pembajakan tapi selama pemerintah masih belum mampu menurunkan pajak untuk komoditas seperti ini, saya rasa tidak ada salahnya.

Film ini berjudul The Elephant Man dengan tagline based on a true story di bawahnya. Disutradai oleh David Lynch dan konon disebut-sebut sebagai salah satu masterpiece-nya sepanjang masa. Saya rasa itu tidak berlebihan, karena pada jamannya isu humanisme yang diangkat dalam film ini masih belum begitu menyita banyak perhatian masyarakat. Hal itu dapat dimaklumi bila melihat kondisi masyarakat dunia yang masih lekat akan unsur primordialistik dan sistem stratifikasi sosial a la top-down, poor-noble. Tidak seperti sekarang, di era liberalisasi dunia komunikasi, di mana semua orang berkoar-koar tentang penyetaraan gender, penghapusan isu diskriminasi, dan penyesaian krisis kemanusiaan yang semakin menjadi-jadi.

The Elephant Man bercerita tentang seorang lelaki berkebangsaan Inggris bernama John Merrick (John Hurt) yang dipertunjukkan dalam sebuah freakshow di bawah kendali Mr.Bytes (Freddie Jones). John menderita sebuah penyakit degenerasi sel yang bernama Proteus Syndrome. Hal itulah yang menyebabkan mukanya terlihat begitu buruk seperti seekor gajah –bahkan jauh lebih menyeramkan- dan sekujur punggungnya ditumbuhi oleh tumor ganas. Konon kondisi tersebut diakibatkan semasa kehamilan bulan keempat, sang ibu sempat menjadi korban keganasan gajah saat tengah berkunjung ke daratan Afrika. Kehadirannya di area sirkus itu menjadi bulan-bulanan massa. Rasa jijik, cacian, dan makian tanpa henti terlempar dari mulut para pengunjung. Namun Mr.Bytes tak pernah peduli, karena baginya John Merrick a.k.a The Elephant Man adalah sumber penghasilannya.

Penampilan John yang ‘eksentrik’ itu kemudian menggugah Dr. Frederick Treves (Anthony Hopkins), seorang ahli bedah muda dari London Hospital, untuk membawanya dan memberinya perawatan. Di rumah sakit, Treves menempatkan John di sebuah ruangan di loteng. Tindakan ini pada awalnya banyak mengundang reaksi negatif dari pihak rumah sakit : tentangan dari sang pemilik, rasa jijik sang suster, hingga oknum pelayan yang memanfaatkan John untuk mencari uang. Namun perlahan sisi lain dari John mulai terungkap. Dia yang semula pendiam, penakut sekaligus menakutkan, berubah menjadi sosok yang lebih terbuka setelah dilatih oleh Dr.Treves. Lambat laun, warga London mulai menerimanya sebagai seorang manusia normal yang patut dikasihani dan tentu perlu dihormati sebagaimana kebanyakan orang lainnya. The Elephant Man kini menjelma menjadi cult-idol banyak wanita diLondon. Apalagi setelah kedekatannya dengan seorang selebritis teater, Mrs. Kendal.

Setelahnya, banyak kejadian mewarnai hidup John. Salah satu adegan yang menurut saya sangat dramatis, adalah saat dia terjebak di tengah orang-orang yang hendak menangkapnya di toilet stasiun kereta. Saat itu dia sedang melarikan diri dari genggaman Mr.Bytes yang menculiknya dari rumah sakit dan memboyongnya ke Prancis. Dengan suara yang amat memilukan, dia berkata “I am not an animal!! I !! I am a human being. I . . am . . a man . . .”. Dia pingsan dan semua orang kemudian terdiam hingga akhirnya datang dua orang kawanan polisi yang membawanya kembali ke pangkuan Dr.Treves.

Lalu, apa sebenarnya yang perlu dipelajari dari film ini ?. Mungkin kalian masih ingat tentang Manusia Akar yang sempat dipertontonkan di acara sebutlah-paranormal-show di beberapa kota di Indonesia. Ternyata, akar yang menjalar di sepanjang tubuhnya tidak lain adalah akibat dari penyakit kutil akut yang diderita oleh manusia akar itu, Dede. Entah tidak tahu atau tahu tapi pura-pura tidak tahu, oknum dunia hiburan itu dengan entengnya memberi julukan manusia akar hasil semedi bla bla di gua whoa whoa. Untunglah ada surat kabar yang memuat berita tentang Dede sehingga akhirnya dia mendapat bantuan dari pemerintah setempat untuk menjalani operasi. Itu baru salah satunya, bagaimana dengan ‘manusia-manusia’ lain yang ada dalam roadshow tersebut.

Film The Elephant Man seharusnya menggugah manusia untuk kembali pada sisi manusiawinya, namun tampaknya setelah 30 tahun lamanya, watak manusia belum berubah atau bahkan tidak akan pernah berubah. Beruntunglah dunia masih memiliki mereka-mereka yang waras dan berhati ‘wajar’, sehingga ketika benih-benih baru seperti John dan XXX yang kurang beruntung lahir ke dunia, mereka masih memiliki kesempatan untuk hidup normal.


The Curious Case of Benjamin Button




Lagi-lagi DVD. Film ini saya beli berbarengan dengan The Elephant Man. Saya tidak akan panjang lebar membahas tentang film ini karena saya tidak mau disebut sebagai spoilerman. Tapi yang jelas saya heran mengapa film ini bisa meraih banyak nominasi Golden Globe Awards. Seperti keheranan saya terhadap film Laskar Pelangi yang standar dan tidak jelas arahnya namun menuai banyak pujian itu. Benjamin Button seperti Forrest Gump versi pendek namun membosankan. Jalan ceritanya sangat lambat, ditambah lagi dengan nuansa naratif yang sama sekali tidak menarik. Saya tertidur setelah menonton kurang lebih tigaperempat bagian film saking jenuhnya. Ah pokoknya membosankan.


Added Links :

http://en.wikipedia.org/wiki/Joseph_Merrick untuk info seputar John (Joseph Merrick)



3 comments:

  1. emang rame siii ad.
    sedih.tp geleh ah item putih kt sy jg.
    eh benjamin button teh rame.
    km we udh malem jd ngantuk.
    dasarrr,hahahah.
    nonton aja benjamin.brad pittnya handsome .

    ReplyDelete
  2. oh salah euy.yg td dr sy "ratna"
    :D

    ReplyDelete
  3. hahha. tulis dong namanya kalau komen na. :)

    ReplyDelete

komentar kalian sangat membantu untuk mengkoreksi kesalahan yang ada dalam tulisan sebelumnya. atau juga bisa jadi bahan kesombongan saya kalau-kalau komentarnya berisi pujian. hahaha.
thank you, anyway. :D