Sunday, December 07, 2008

Mama Left When The Sun is Rising Up

Saat itu, saya tanpa sengaja bertemu dengan guru saya semasa SMP, sebut saja Ibu XXX. Sebenarnya kata ‘bertemu’ di sini kurang relevan bila dikorelasikan dengan bentuk pertemuan itu sendiri. Saya hanya melihat beliau tanpa menyapa bahkan tersenyum pun tidak. Saya juga ragu-ragu saat mencoba mengenali beliau karena memang perawakan dan penampilannya agak sedikit berbeda. Tidak mungkin sesederhana ini, pikir saya begitu melihat cara beliau berpakaian mengingat profesinya sebagai seorang guru di SMPN 2 Bandung, sekolah yang memang - entah kenapa – meninggalkan banyak kesan hedonis di ingatan saya. Ditambah lagi pada waktu itu Ibu XXX menggandeng seorang anak sambil beberapa kali menyuapinya dengan makanan dari kotak bekal yang ada di sebelah tangannya.

Mama. Begitu dia sebut dirinya di depan anak itu. Setahu saya, Ibu N’deu sudah terlalu tua untuk memiliki anak seumur itu. Bahkan hal itu tidak lazim seandainya hal itu terjadi 6 tahun lalu saat saya masih belajar padanya. Saya sempat berpikir, dunia berubah begitu cepat dalam setengah dekade. Dan waktu berlalu begitu saja tanpa ada peringatan jelas dari Tuhan tentang banyaknya waktu yang saya sia-siakan. Lamunan itu lantas buyar begitu mendengar kalimat sapaan dari orang di sebelahnya yang sudah sejak sebelumnya mengamati tingkah laku si anak yang memang agak sedikit lincah ke sana ke mari.

Sabaraha taun (berapa tahun), Bu ?”

Tilu taun, tapi kirang bentes ieu mah ngomongna. Nu putri mah lancar. Kembar ieu teh. (Tiga tahun, tapi kurang lancer ini bicaranya. Yang perempuan sih lancar. Kembar.

Kembar ?. Beliau pasti bercanda. Melihat anak kecil itu saja saya sudah terheran-heran.

Ohh, bodas nya. Meni kasep. (Ohh, putih ya. Ganteng)”

Muhun, beda jeung nu hiji deui mah perempuan. Hideung, terus rada gendut. (Iya, beda sama yang perempuan. Item, sedikit gendut)”

Anak, Bu ?”

(berbisik) “ Lain, anak angkat. Ti saminggu. Indungna kabur. Bapana teuing dimana. Nini na ge teu paduli rek kumaha. Lain urusan cenah.(Bukan, anak angkat. Dari umur seminggu. Ibunya kabur, Ayahnya ga tau dimana. Neneknya juga ga mau tahu. Bukan urusan dia katanya)”

. . .

Benar ternyata, dunia berubah di luar apa yang pernah saya bayangkan sebelumnya. Bahkan, percakapan itu pun secara tidak langsung telah meubah pemikiran saya beberapa detik sebelumnya tentang kejanggalan akan keberadaan anak itu, yang semula rasa heran menjadi rasa kasihan. Dari lontaran demi lontaran kata yang terlempar dari mulut mereka, saya menangkap – setelah menguping – sebuah pembicaraan tentang anak kembar yang terbuang, ibu yang kabur meninggalkannya, dan ayah yang tidak bertanggung jawab, juga seorang nenek yang tidak mau peduli perihal kelahiran penerusnya itu. Memang semua tidaklah murni kesalahan mereka, tapi seharusnya ada rasa peduli dan tanggung jawab karena sedikit banyak mereka telah terlibat di dalamnya. Kita adalah manusia. Dan manusia tidak pernah memiliki hak untuk membatasi masa hidup orang lain dengan membiarkan sepasang anak yang baru lahir terabaikan begitu saja seperti bongkahan batu di halaman.

Entah bagaimana perasaan yang akan timbul di hati anak-anak itu begitu dewasa nanti. Tak ada garis muka yang mampu menggambarkan sedikit saja wajah orang tua mereka di rumah saat bercermin. Keheranan akan jauhnya umur mereka dengan orang tua mereka. Ketidaklaziman golongan darah dari garis keturunan. Akan selalu ada pertanyaan yang hinggap sebelum mereka tertidur lelap : tentang eksistensi mereka. Mungkin saja pertanyaan-pertanyaan itu suatu hari akan mengantarkan mereka memilih jalan untuk tertidur lelap selamanya sebelum tiba saat yang seharusnya.

Biar saja ia jatuh ke sungai, biar saja ia terberai berantakan, biar saja ia diguyur hujan.

Entah burung apa itu hinggap di batang pohon akasia, janggal.

Kulempar dengan sebongkah batu di halaman.

Selama ini, dunia telah mengubah banyak orang kembali menjadi manusia purba dengan aturan hidup a la hutan rimba. Kita terlalu banyak mendongakkan kepala ke arah televisi hingga lupa cara menunduk dan membungkuk. Kita terlalu banyak berempati pada Aqso dan Madina, tapi lantas melupakan nasib ribuan anak jalanan yang dipekerjakan sebagai pengemis oleh oknum-oknum keparat. Kita gunakan kartu debit dan kredit sebagai alasan ketidakhadiran uang recehan untuk disumbangkan kepada mereka yang malang di pelataran jalan sana.

Membuang muka dan menyembunyikan tangan mungkin telah menjelma menjadi Pancasila baru di muka bumi Indonesia ini. ‘Rasa peduli’ sudah saatnya dipajang dalam lemari-lemari tua di museum. Dikenang. Tanpa pernah dirasakan.

4 comments:

  1. Thanks for your work and have a nice week!

    ReplyDelete
  2. who are you anyway ?. hehehe

    ReplyDelete
  3. deuh, ga nyangka adrian respect dgn hal-hal seperti ituu. hehehe. good boy!

    ReplyDelete
  4. terimakasih hana. aduh ada orang makassar nih di bandung. hehe. :D

    ReplyDelete

komentar kalian sangat membantu untuk mengkoreksi kesalahan yang ada dalam tulisan sebelumnya. atau juga bisa jadi bahan kesombongan saya kalau-kalau komentarnya berisi pujian. hahaha.
thank you, anyway. :D